Tantangan untuk memenuhi tuntutan kualitas pendidikan yang bermutu tampaknya akan menjadi lebih besar karena kompetensi guru yang layak ternyata harus mempertimbangkan aspek keadilan. Keputusan penundaan pengumuman hasil seleksi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), sesungguhnya dilema antara mutu dan ‘keberpihakan akan keadilan’.
Implikasi dari keputusan penundaan tersebut harusnya tidak menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Semua pihak yang mengusulkan seyogianya ikut bertanggung jawab, apabila mutu pendidikan masih tetap stagnan walaupun sudah dilahirkan berbagai terobosan melalui episode Merdeka Belajar. Akuntabilitas Seleksi yang dilakukan merupakan suatu proses yang sangat sistematis dan terukur.
Penentuan formasi merupakan rekonsiliasi antara Kemendikbud, Kemenpan-Rebiro, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Dinas Pendidikan. Formasi final yang ditetapkan oleh Kemenpan-Rebiro, juga hasil sinkronisasi formasi oleh BKN, serta validasi pemda dan Kemendikbud. Terdapat 36 pemerintah daerah yang tidak mengajukan usulan guru PPPK, termasuk dari Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Papua, Bengkulu, Maluku Utara, dan Bangka Belitung.
Jumlah formasi untuk perekrutan guru ASN kali ini merupakan yang terbesar, yaitu 506.247 orang, dibandingkan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, hanya tersedia formasi 6356 orang, 2018 sebanyak 77.484 orang, 2019 sebanyak 90.444 orang (Sumber: Kemendikbudristek, 2021). Yang cukup mengherankan hanya diperoleh 326.476 yang melamar dari 506.247 formasi yang tersedia. Formasi kosong di ujian seleksi pertama, kebanyakan di daerah terpencil. Daerah itu meliputi Nias Utara, Halmahera Utara, Barito Selatan, Timor Tengah Selatan, Halmahera Tengah, Maluku Barat Daya, Halmahera Barat dan Selatan, Nias, Maluku Tengah, Pulang Pisau, Barito Timur, Lombok Barat, Kutai Barat, Halmahera Timur, Sangihe, dan Tanimbar.
Tercatat bahwa Formasi kosong 179.771 orang. Yang menarik bahwa pada tahun 2021, calon guru PPPK dapat mengikuti ujian seleksi hingga tiga kali. Artinya, ketidakberhasilan pada ujian pertama, tetap akan memberikan kesempatan dua kali lagi. Hal lain yang transparan ialah terkait pemeringkatan, pengumuman dan masa sanggah, serta, pemberkasan yang lulus ujian.
Selama ini, dalam sebuah seleksi tidak pernah ada masa sanggah. Semua informasi, sudah diumumkan secara terbuka jauh hari sebelum dilaksanakan seleksi. Dengan mekanisme seleksi yang ada, kemungkinan adanya ‘titipan’ tidak dimungkinkan. Mekanisme ini terpusat pada hanya mereka yang memiliki kualitas dan kompetensi yang akan terpilih sehingga, dapat mengatasi permasalahan mutu pendidikan yang selalu marak dari waktu ke waktu.
Catatan mutu pendidikan Kritik terhadap mutu pendidikan tidak pernah berhenti. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan indikator permasalahan mutu pendidikan. Mengutip publikasi terbaru dari INOVASI dan Puslitjak (2021) Learning Recovery-Time For Action, Policy Brief, August 2021, bahwa terjadi kehilangan kemajuan selama 5-6 bulan setelah 12 bulan belajar dari rumah. Hal itu, didasarkan perkembangan literasi berhitung sebelum dan selama pandemi pada kelas 1 dan 2 sekolah dasar.
Hal lain yang memprihatinkan, adalah temuan semakin melebarnya kesenjangan belajar antara yang ditetapkan oleh kurikulum dengan apa yang dipelajari siswa. Secara sederhana, siswa tidak menguasai apa yang seharusnya diperoleh selama satu tahun pelajaran. Data estimasi analisis Bank Dunia berdasarkan data PISA 2015 (OECD, 2016) dalam Indonesia Economic Quarterly (June, 2018) berjudul Learning More, Growing Faster menunjukkan bahwa lebih dari 55% orang Indonesia yang menuntaskan pendidikan secara funsional adalah nonliterat.
Angka ini sangat besar jika dibandingkan dengan Vietnam (14%) dan negara-negara the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu 20%. Sebanyak 93,52% penggunaan media sosial dan 65,34% penggunaan internet berada di usia 9-19 tahun. Umumnya, anak-anak menggunakan internet untuk mengakses media sosial, gim, dan Youtube.
WHO telah mengeluarkan International Classification of Disease (ICD) edisi ke-11 yang menyebutkan kecanduan main games sebagai gangguan kesehatan jiwa, yang masuk sebagai gaming disorder (Kemkominfo, 2018). Laporan Bank Dunia (2018), Growing Smarter: Learning and Equitable Development in East Asia Pacific menunjukkan bahwa ada lima domain kebijakan yang memengaruhi kesuksesan sistem pendidikan. Pertama, menyinkronkan lembaga-lembaga pendidikan yang dapat menjamin kondisi dasar untuk belajar. Kedua, mengimplementasikan penganggaran pendidikan yang efektif dan fokus pada kesetaraan pendidikan dasar. Ketiga, memastikan bahwa anak-anak siap untuk belajar di sekolah. Keempat, menyeleksi dan mendukung guru-guru yang berkualitas menjalani profesi guru, serta fokus kepada pembelajaran. Kelima, mengevaluasi siswa dengan mendiagnosis masalah-masalah yang dialami siswa, dan menginformasikan kepada berbagai pemangku kepentingan.
Alternatif solusi Sejumlah perubahan agresif dan progresif, telah dilakukan kementerian yang mengurus pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi. Konsep Merdeka Belajar dicanangkan dengan target yang jelas, yaitu mencari solusi cepat terhadap berbagai kendala mutu pendidikan yang sudah tumbuh-kembang selama puluhan tahun.
Secara teoritis, proses pembelajaran untuk membenahi mutu pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru. Pertanyaannya, apakah kita siap terhadap implikasi pemberian kelonggaran dengan mengurangi persyaratan batas atas kelulusan PPPK? Apakah kita sudah menyiapkan mitigasi untuk mengontrol mutu guru yang diluluskan karena ingin menghormati keadilan atas bentuk dedikasi yang sudah lama? Padahal, salah satu kemampuan teknis yang wajib dimiliki guru ialah ramah terhadap penggunaan teknologi. Apabila disepakati atas nama keadilan, seyogianya ada anggaran khusus untuk meningkatkan kompetensi para guru PPPK. Penganggaran tersebut harus masuk dalam alokasi program prioritas tahun 2022. (*)
Sumber: mediaindonesia.com