Opini

Masalah Korupsi karena Kerugian Keuangan Negara dan Solusinya

Oleh: Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tertanggal 25 Januari 2017 menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4150), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan.

Sebagai alasannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diberikan pertimbangan hukum antara lain “Bahwa dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menurut Mahkamah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.

Selama ini, berdasarkan Putusan Mahakamah Nomor 003/PUU-IV/2006 pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata” akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan.

Dalam perkembangannya dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan.

Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi, suap, gratifikasi, atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.

Dengan demikian bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan lain kerugian negara merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor.

Berdasarkan hal tersebut menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.” Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai berikut: “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”

Berdasarkan Putusan MK di atas, semakin jelas oleh Mahkamah kita diarahkan untuk menyatakan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum atau menyelahgunakan wewenang penyelenggara negara yang bersifat nyata/konkret sehingga tidak lagi dapat diperkirakan lagi (potential loss) melainkan actual loss.

Tafsir atas pengertian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara di dalam UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah UU 20 tahun 2001, dalam praktik sering menimbulkan kontroversi antara Jaksa Penuntut Umum, advokat dan ahli-ahli dalam sidang pengadilan tipikor.

Unsur Perbuatan Melawan Hukum meminjam konsep hukum perdata dann doktrin hukum; dipahami sebagai perbuatan yang merugikan hak dan.kepentingan orang lain, bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan dalam undang-undang. Sedangkan pengertian penyalahgunaan wewenang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 jo Pasal 18 UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah, melampaui batas wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau bertindak sewenang- wenang.

Merujuk pada beberapa UU yang berlaku terkait korupsi diperlukan perubahan-perubahan yang bersifat strategis dan menyeluruh untuk memperjelas arah politik hukum dalam pemberantasan korupsi. Perubahan strategis dimaksud antara lain, ketentuan tindak pidana baik yang termasuk tindak pidana asli korupsi (genuinely corruption) dan tindak pidana lain terkait korupsi seperti obstruction of justice; penegasan perbedaan antara suap aktif dan suap pasif dengan gratifikasi; pengeluaran dalam jabatan yang merugikan negara dengan ketentuan Pasal 12a,e. Dalam hal ini perlu dievaluasi kemungkinan penyelesaian RJ dalam penyelesaian tipikor dengan syarat pengembalian kerugian keuangan negara secara maksimal dan pembebasan dari penuntutan maksimal sesuai dengan berat ringannya tipikor yang terbukti telah dilakukan pelakunya.

Penggunaan metode Deferred Prosecution Agreement (DPA) seperti telah diterapkan dalam kasus perusahaan Boeing, suap terhadap mantan Dirut Garuda, ES. Bandingkan kasus tersebut di sini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selanjutnya di mana negara memperoleh denda maksimal sebesar Rp1 miliar sedangkan DPA kasus tersebut di AS, Inggris dan Perancis memperoleh pemasukan sebesar 3,6 miliar euro. Kebijakan pemerintah melalui Instruksi Presiden dalam percepatan pemberantasan korupsi sudah tepat yang bertujuan mengembalikan kerugian keuangan negara melalui pencegahan detensi (preventive detention).

Keuntungan dari DPA dalam Pemberantasan korupsi di Indonesia adalah mencegah buron dan aset-asetnya disembunyikan di negara lain yang dalam kenyataannya sangat sulit untuk menangkap dan mengembalikan asetnya. Ada perangkat hukum baru terkait percepatan pemberantasan korupsi, tepatya pengembalian kerugian keuangan negara atau memulihkan perekonomian negara, di antaranya paling mutakhir adalah perampasan aset tindak pidana di mana subjek hukum utama adalah aset-aset hasil tindak pidana.

Aset tindak pidana yang berasal dari tindak pidana korupsi atau aset tindak pidana berkaitan dengan investasi dan keuangan negara terkait tindak pidana lingkungan hidup atau dalam kegaitan pasar modal. Dalam kaitan aset sebagai subjek hukum di samping orang perorangan atau korporasi. Aspek hukum perampasam aset tindak pidana berkenaan sarana hukum perampasan aset melalui metoda perampasan aset tindak pidana dengan cara conviction-based (assets) forefeiture dan metode non-based criminal forefeiture atau civil-based forfeiture. Kedua metode perampasan aset tindak pidana tersebut menggunakan aspek hukum acara yang berbeda.

Hukum acara perampasan aset tindak pidana melalui penuntutan pidana sejalan dengan praktik hukum acara pidana yang telah lazim diberlakukan sesuai dengan KUHAP dan Hukum Acara Pidana perkara tipikor. Sedangkan hukum acara untuk perampasan aset tindak pidana tanpa penuntutan dilakukan dengan hanya bukti petunjuk yang kuat saja dan pembuktian terbalik mengenai kepemilikan sah dari asetnya berdasarkan penetapan hakim dapat dimintakan pembuktian terbalik.

Jika terdakwa tidak dapat membuktikan keabsahan aset-asetnya maka aset terdakwa dapat dirampas seketika. Dua metode perampasan aset tindak pidana tersebut ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya aset terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana dapat segera dikembalikan kepada negara atau sebaliknya tetap berada pada pemiliknya, sedangkan perampasan aset melalui penuntutan pidana dipastikan berlangsung lama.

Dalam metode perampasan aset tanpa penuntutan, terdakwa bukan subjek hukum karenanya terdakwa tidak diwajibkan menjalankan hukuman. Sedangkan metode perampasan melalui penuntutan pidana, terdakwa dan aset-asetnya tetap menjadi subjek hukum dan dapat dijatuhi hukuman baik aset yang terbukti berasal dari tindak pidana dan terdakwanya.

Kedua metode perampasan aset tersebut bertujuan, yakni perampasan aset non-penuntutan adalah pemiskinan terdakwanya, sedangkan perampasan aset dengan penuntutan, baik terdakwanya adalah penjeraan. (*)

Sumber: Sindonews.com