ZONAINFO.ID, Ambon – Kejati Maluku tak terima Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ambon dalam kasus jual beli tanah untuk pembangunan PLTG Namlea, Kabupaten Buru 10 megawatt tahun 2016.
Upaya hukum dilakukan jaksa. Memori kasasi telah diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sejak 19 Agustus 2021 lalu.
“JPU sudah lakukan upaya hukum. Memori kasasi diajukan tanggal 19 Agustus,” jelas singkat Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Wahyudi Kareba kepada ZonaInfo.id melalui pesan whatsapp, Kamis (9/9/2021) malam.
Wahyudi belum mau berkomentar banyak. Alasannya, upaya hukum sudah dilakukan dan jaksa menunggu putusan MA.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Ambon pada Jumat (6/8/2021) memvonis bebas murni atau Vrijspraak Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa.
Dalam amar putusan majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan itu, menyatakan terdakwa Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana didakwakan jaksa dalam tuntutan primer dan subsider.
Majelis hakim kemudian membebaskan kedua terdakwa dari semua dakwaan jaksa. Majelis hakim juga meminta jaksa untuk mengembalikan hak dan martabat dari Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa.
Vonis majelis hakim bertolak belakang dengan tuntutan JPU Kejati Maluku yang meminta Tanaya dihukum 10,6 tahun penjara dan Laitupa 8,6 tahun 6 penjara.
Ferry Tanaya didakwa jaksa menjual tanah milik negara yang berlokasi di Dusun Jikubesar Desa Sawa, Kecamatan Namlea Kabupaten Buru tahun 2016 kepada pihak PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.
Tak hanya Tanaya, jaksa juga menjerat mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa.
Jaksa dalam dakwaan menyatakan, Ferry Tanaya tidak berhak menerima ganti rugi atas tanah seluas 48.645 meter persegi yang dijual ke PLN, mengingat status tanah itu, tanah erfpacht dengan pemegang hak almarhum Zadrach Wakano yang meninggal pada tahun 1981.
Tahun 1985 keluarga Ferry Tanaya membeli tanah itu dari ahli waris Z Wakano. Menurut jaksa, sesuai ketentuan undang-undang, tanah erfpacht tidak bisa dipindahtangankan, baik kepada ahli waris atau pihak lain. Setelah pemilik hak meninggal, maka hak atas tanah itu harus dikembalikan ke negara.
Tanaya dan Laitupa didakwa melanggar pasal 2 dan pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor: 20 Tahun 2001, jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KHUP. (ZI-10)