Opini

Membangun Tanpa Membebani Desa

Oleh: Bahsian, Mahasiswa Magister Sekolah Bisnis IPB

Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 yang salah satunya memuat kebijakan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di seluruh desa Indonesia. Program ini dirancang sebagai penggerak ekonomi desa sekaligus pelaksana program prioritas, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, cara pendekatan dan skema pembiayaan program ini menimbulkan sejumlah catatan kritis. KDMP dirancang dengan pembiayaan melalui pinjaman kepada bank-bank Himbara yang dijamin melalui dana desa. Setiap desa direncanakan mendapatkan plafon pinjaman sekitar Rp 4 miliar hingga Rp 5 miliar dengan tenor tertentu. Dalam skema ini, dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan lokal harus dialihkan sebagian untuk membayar cicilan pinjaman tersebut.

Secara konsep, pendekatan ini kontraproduktif terhadap semangat kemandirian desa. Ketika pembangunan desa justru dimodali oleh utang atas nama koperasi yang dibentuk secara top-down, maka fungsi koperasi sebagai organisasi swadaya masyarakat menjadi terdistorsi. Alih-alih menjadi penguat ekonomi rakyat, koperasi bisa menjelma menjadi pelaksana proyek pusat yang tidak berakar pada kebutuhan riil masyarakat.

Potensi yang Terabaikan

Sementara itu, desa-desa di Indonesia sejatinya telah memiliki instrumen ekonomi lokal yang telah diakui secara hukum dan tumbuh secara organik, yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, BUMDes disebut sebagai lembaga yang dapat mengelola potensi ekonomi desa secara partisipatif dan berkelanjutan. Berbagai BUMDes di Indonesia telah menunjukkan performa yang menjanjikan. Salah satu contoh yang sering dikutip adalah BUMDes Tirta Mandiri di Desa Ponggok, Klaten, yang berhasil menyulap sumber daya lokal menjadi aset desa bernilai miliaran rupiah per tahun, tanpa bergantung pada pinjaman jangka panjang. Sayangnya, alih-alih memperkuat lembaga yang sudah ada, kebijakan KDMP justru menciptakan struktur baru yang rawan tumpang tindih dan membebani fiskal desa. Terlebih, banyak BUMDes yang masih membutuhkan pelatihan manajemen, dukungan pemasaran, dan pendampingan usaha, bukan justru dikesampingkan oleh program baru.

Risiko Struktural

Selain membebani anggaran, skema pinjaman kolektif atas nama koperasi di desa juga rawan gagal bayar. Sektor-sektor dominan di desa seperti pertanian dan perikanan memiliki volatilitas tinggi dan tidak selalu menghasilkan keuntungan stabil. Dalam situasi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih dan bunga kredit yang tinggi, desa bisa terseret ke dalam beban utang jangka panjang. Di sisi lain, pengawasan terhadap implementasi KDMP berisiko longgar. Jika tidak dibarengi dengan pembinaan dan kontrol yang ketat, koperasi desa bisa saja menjadi instrumen elite lokal atau hanya menjadi penyalur kredit yang tidak produktif.

Memperkuat yang Sudah Ada

Oleh karena itu, pendekatan yang lebih bijak adalah memperkuat BUMDes sebagai entitas lokal yang telah memiliki legitimasi hukum, sosial, dan ekonomi. Pemerintah dapat mengalokasikan anggaran secara langsung melalui dana hibah atau dana bergulir, bukan skema utang. Pendampingan manajerial dan pelatihan usaha menjadi kebutuhan yang lebih mendesak daripada pembentukan lembaga baru. Dalam kebijakan publik, penting untuk menilai apakah solusi yang ditawarkan benar-benar menyelesaikan masalah, atau justru menciptakan masalah baru. KDMP, jika tidak dikaji ulang, berpotensi menjadi proyek ambisius yang membebani desa tanpa memberikan fondasi ekonomi yang kokoh. Desa tidak membutuhkan lembaga baru yang dibentuk dengan instruksi. Yang dibutuhkan adalah kepercayaan pada kemampuan warga desa sendiri untuk mengelola potensi yang mereka miliki. Dan BUMDes sudah membuktikan itu. (*)

Sumber: SINDOnews.com