ZonaInfo.id, Namlea – Raja dan masyarakat adat Kaiely menolak rencana 10 koperasi dengan pemodalnya bernama Helena beroperasi di tambang emas Gunung Botak, Kabupaten Buru.
Penolakan keras terhadap rencana masuknya aktivitas koperasi tambang menggema di Negeri Kaiely, Kecamatan Teluk Kaiely, Kabupaten Buru, Maluku, saat koordinator 10 koperasi Rusman Arief Soamole dan pemodal dari Jakarta, Helena dan kawan-kawan bertandang ke sana, Sabtu (15/3/2025).
Gelombang penolakan ini dipimpin langsung Raja Kaiely, Abdulah Wael, yang dalam tatanan adat masyarakat Maluku memiliki kedudukan sentral sebagai pemimpin negeri dan penjaga adat.
Bersama puluhan pemuda Negeri Kaiely dan didampingi oleh Ibrahim Wael, seorang tokoh adat dan juga ahliwaris pemilik lahan Gunung Botak, Raja Abdulah Wael dengan tegas menyatakan sikap menolak segala bentuk aktivitas pertambangan yang akan dilakukan oleh koperasi di wilayah mereka.
Di tengah suasana yang penuh semangat perlawanan, Raja Abdulah Wael dan para pemuda menyampaikan tuntutan mereka secara langsung kepada Kepala Desa Kaiely, Umar Taramun.
Mereka meminta dengan sungguh-sungguh agar Kepala Desa tidak memberikan izin atau menerima kehadiran koperasi tambang dalam bentuk apapun yang berpotensi melakukan pengolahan sumber daya tambang yang menjadi hak milik Negeri Kaiely.
Penolakan ini didasari oleh kekhawatiran akan dampak buruk yang mungkin timbul akibat aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat adat.
Massa yang berkumpul juga mendesak agar rombongan yang mengatasnamakan diri dari sepuluh koperasi tambang, yang dikoordinatori oleh Ruslan Suamoleh (akrab disapa Ucok) beserta rekan-rekannya, untuk segera meninggalkan Negeri Kaiely dan kembali ke tempat asal mereka di Namlea.
Bahkan, masyarakat dengan tegas melarang kelompok tersebut untuk kembali lagi ke Negeri Kaiely di masa mendatang. Alasan utama penolakan ini adalah karena masyarakat Negeri Kaiely merasa tidak pernah mendapatkan informasi atau sosialisasi yang memadai mengenai keberadaan dan rencana operasional koperasi-koperasi tambang tersebut.
Ketidakjelasan informasi dan kurangnya komunikasi dari pihak koperasi tambang menjadi salah satu pemicu utama penolakan ini. Masyarakat adat Negeri Kaiely memiliki hak untuk mengetahui secara detail mengenai rencana pembangunan dan aktivitas apapun yang akan dilakukan di wilayah mereka, terutama yang berpotensi mengubah lanskap alam dan tatanan sosial.
Ketiadaan sosialisasi yang transparan menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat, sehingga mereka mengambil sikap tegas untuk menolak kehadiran koperasi tambang tersebut.
Lebih lanjut, Ibrahim Wael, yang juga merupakan pemilik sah areal “ketel” di kawasan pertambangan Gunung Botak, mengungkapkan kekecewaannya karena merasa tidak pernah dihiraukan oleh pihak koperasi-koperasi tersebut.
Ia menyayangkan sikap koperasi yang seolah-olah menganggap lokasi tambang Gunung Botak sebagai daerah tanpa pemilik. Padahal, menurut Ibrahim Wael, seluruh masyarakat di dataran Waiapo sejak lama telah mengetahui bahwa lahan “ketel” tersebut adalah milik dirinya beserta keluarga besarnya di Negeri Kaiely.
Pernyataan ini semakin memperkuat alasan penolakan masyarakat terhadap kehadiran koperasi tambang yang dianggap tidak menghargai hak kepemilikan tanah adat.
Penolakan terhadap koperasi tambang ini juga mencerminkan kuatnya ikatan masyarakat adat Kaiely terhadap tanah leluhur mereka. Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan juga memiliki nilai spiritual dan budaya yang mendalam. Tanah adalah warisan dari para leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang. Masuknya aktivitas pertambangan dikhawatirkan akan merusak warisan tersebut dan menghilangkan identitas serta kearifan lokal masyarakat.
Sikap tegas Raja Kaiely yang didukung penuh oleh para pemuda dan tokoh adat menunjukkan soliditas masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanah dan sumber daya alam mereka.
Inti dari penolakan koperasi tambang di Negeri Kaiely terletak pada kuatnya kesadaran masyarakat akan hak atas tanah adat dan sumber daya alam yang mereka miliki secara turun-temurun.
Raja Kaiely, sebagai representasi dari kekuasaan adat dan simbol persatuan masyarakat, mengambil peran sentral dalam memimpin gerakan penolakan ini. Dalam konteks masyarakat adat Maluku, seorang Raja bukan hanya sekadar kepala pemerintahan, tetapi juga merupakan pemimpin spiritual dan penjaga nilai-nilai luhur adat istiadat. Keputusannya mencerminkan aspirasi dan kepentingan seluruh masyarakat Negeri Kaiely.
Ketiadaan informasi dan sosialisasi yang jelas dari pihak koperasi tambang menjadi faktor krusial yang memicu kemarahan dan penolakan masyarakat. Masyarakat adat berhak untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif mengenai rencana aktivitas pertambangan, termasuk potensi dampak positif dan negatifnya terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.
Kurangnya transparansi dari pihak koperasi menimbulkan kecurigaan bahwa ada maksud tersembunyi yang dapat merugikan masyarakat Kaiely.
Selain itu, persoalan kepemilikan lahan “ketel” di Gunung Botak yang diakui oleh masyarakat sebagai milik Ibrahim Wael dan keluarganya semakin memperkuat alasan penolakan.
Pihak koperasi tambang dinilai tidak menghargai hak kepemilikan tanah adat dan bertindak seolah-olah wilayah tersebut tidak bertuan.
Sikap ini dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap hukum adat dan kearifan lokal yang berlaku di Negeri Kaiely. (ZI-18)