Lintas Daerah

Menoreh Kisah Hidup di Watui

ZonaInfo.id, Piru – Watui, sebuah Negeri kecil dibalik rimbun dan hijaunya alam pegunungan Timur Kairatu Seram Bagian Barat. Di pesisir lembah aer batang (sungai) Wailau yang mengalir mengairi, Negeri kecil ini berdiam terbungkus keheningan dan keteduhan hamparan hutan yang luas.

Watui merupakan Negeri yang dititip oleh leluhur atau (orang totua) kepada (par) anak cucu. Bersama Burung-burung yang ramai bercanda di atas cakrawala pagi, senyum syukur yang berhias kabut pagi mulai memoles alis kehidupan di sana. Satu persatu langkah tertatih menuju jejak gumul (lahan kebun) yang telah menanti.

Ketika matahari kian meredup, sorak sang Jangrik dan si Riang- riang lantang bernyanyi pertanda hari mulai sore menunggu malam tiba. Malam di Watui sanggup mengusik kebisingan dari antara hiruk pikuknya gelora hati, lelah dan letihpun mulai mercanda ria dalam sepinya untuk menghantar badan menuju peraduan.

Nan tenang sebab besok masih menanti. Ada sejuta impian dan harapan yang menghias khayal jejak kehidupan di sana, yakni di Watui. Negeri yang ditata indah ini tampak kuno (sangatlah tertinggal) pada aspek kemajuan di tengah perkembangan era yang semakin digital dengan pesatnya pertumbuhan pembangunan Bangsa yang canggih dan modern.

Masyarakat Negeri Watui merasa telah diperlakukan dengan tidak adil, dalam ruang pembangunan yang berbasis kesejahteraan. Karena itu ketertinggalan dan keterpurukan atas Negeri dan masyarakat Watui menjadi catatan kritis semua pihak, baik Pemerintah dengan kerelaan pelayanan pembangunan, tetapi juga bagi generasi Negeri ini untuk mewujudkan rasa memiliki dan rasa cinta membangun Watui, agar bisa duduk dan berdiri sejajar Desa- desa atau Negeri lain pada kontestan pembangunan di bangsa dan Negeri ini.

Sementara di posisi ruang Adat, Negeri Watui memiliki latar kisah dan cerita yang masi tenggelam dan tertutup dalam kesakralan nilai dan pikiran masyarakat yang serba terbatasi. Padahal Adat budaya merupakan tatanan hidup yang kaya dengan nilai moral etis dan Adat budaya merupakan cerminan estetika hidup yang sudah sepatutnya untuk dilestarikan. Hal demikian sejalan dengan upaya dan niat Pemerintah mengembalikan dan menghidupkan status Negeri-negeri adat di Maluku.

Dalam kaca mata pembangunan berbudaya di Kabupaten Seram Bagian Barat, Negeri Adat Watui masuk class INA AMA dari sejumlah INA AMA yang ada. Itu artinya Negeri Watui memiliki posisi yang dapat diandalkan sebagai salah satu Negeri tua dalam catur pembangunan Adat Kabupaten Seram Bagian Barat.

Kedepan situasi yang tergambar nyata bahwa Negeri dan masyarakat Watui kini adalah bagian yang tidak bisa diabaikan apalagi sengaja dilupakan dari kesatuan hidup berbangsa. Keprihatinan hidup karena keterisolasian, adalah sebuah fakta yang masih menggiring Negeri ini berada dalam POTRET  DESA SANGAT TERTINGGAL atau NEGERI YANG SANGAT TERTINGGAL.

Sejalan dengan hal demikian maka ada asumsi dan sumbangsi pikiran yang menyimpulan bahwa: kondisi tersebut disebabkan Lemahnya pemerintah Kita dalam melakukan evaluasi dan fisitasi pembangunan secara baik dan merata, termasuk pembangunan pada Negeri Watui yang hampir sebagian besar didanai Negara.

Tergambar bahwa ada sebuah kesengajaan dan pembiaran praktek ketidak adilan yang dilakukan bagi masyarakat Watui untuk tetap terisolir dalam keterpurukan dan penderitaan. Sikap ini menurut Kami adalah kekejaman administrasi dan birokrasi pemangku kewenangan pelayanan publik atau pemerintah.

Misteri kehidupan ini telah menjadi sebuah Kisah pada jejak Gumul yang harus dilakoni oleh masyarakat setempat, sebagai pilihan untuk terus bertahan dalam berjuang menjunjung nilai asa dan impian walau dengan menelan getir di hati. Ceritera yang mengisahkan keberadaan yang jauh dengan perjalanan panjang dalam himpitan hutan dan alam yang menawan, telah melelahkan mereka untuk mengeluh dan merelakan kondisi hidupnya sendiri memprihatinkan.

Penderitaan yang bukan karena penyakit dan persungutan, telah menjadi tapak dalam setiap gegas dan karya serta kebutuhan Mereka. Dibentangan jalan yang panjang antara sejarah masa lalu dan goresan zaman kini, terlihat beban yang harus dipikul sendiri dengan kedua pundak (bahu) yang penuh rela.

Rentang masa yang panjang dari cerita sejarah, telah memberi perannya membungkus sejarah dan adat. Watui menjadi sebuah misteri, ibarat kertas tua pada buku usang yang tak dapat disentuh dan tak lagi dibaca. Terselip dan tertutup diantara lembar demi lembar angan silam yang tak kunjung tersingkap.

Di lain sisi pesatnya kemajuan IPTEK turut mengaburkan warna budaya dan adat Kita, yang dampaknya turut dirasakan Negeri Watui, terlebih pada gaya dan sikap generasi kini di Watui. Bahwa mereka dengan kekaburan faham harus memilih antara warisan budaya yang dititipkan adat Moyang dan Datuk atau kemajuan yang ditawarkan zaman kini. Semestinya bukan pilihan yang harus disodorkan kepada mereka, sebaliknya bagaimana mereka mampu dan sedapat mungkin menemukan titik temu antara adat budaya dengan kemajuan zaman ini, sehingga Pesan tua adat budaya Kita juga kemudian tidak harus terkandas pada lupa dan kurangnya keinginan serta kepedulian generasi kini di Watui.

Pada Bagian Lain Kisah Masyarakat Watui Kini:

Jejak langkah di atas tapak berbatu tajam, telah manjadi saksi betapa warga masyarakat Negeri Watui menghiasi perjuangan hidup mereka dengan kepahitan dan keprihatinan. Tidak gentar sekalipun hujan walau banjir harus dihadapi, tidak peduli semak mamosa (putri malu) walau perih menggores jemari dan betis.

Pahit yang berlumur di sebagian suasana hidup, telah dirasakan seperti susu dan madu bagi Mereka sehingga harus ditelan. Rentan kendali dan jalur tempuh yang panjang pun bukan penghambat tekad dan tujuan. Semangat yang besar tak dibiarkan pudar, bagaikan cahaya pelita dan lilin yang rela menyala dalam kesederhanaan dan keterbatasan.

Negeri yang ditinggal pergi sendiri tanpa ditemani, merajut karya dan menata serta mengukir impiannya dengan bermodalkan semangat dan niat demi mewujudkan Watui yang maju. Dibalik tirai kehidupan yang berkabut mendung, hujanpun seakan tak pernah turun dan harapan kesejukan kian tenggelam. Di bawah terang sinar sang Surya, hidup bahkan tak secerah siang, sebab awan kelam kian membungkus.

Watui tak bedanya 4 Desa atau Negeri lain (Sumit Pasinaro, Ahiolo, Huku dan Abio) yang berada di jazirah pegunungan Timur Kairatu, tepat pada wilayah administrasi Kecamatan Elpaputi di Kabupaten Seram Bagian Barat ini, hanya dipandang seperti tanaman musiman. Ya..! Seperti itu semusim sekali dalam lima tahun, baru didatangi daftar program yang dilampiri lampiran kebutuhan.

Jika musim dan waktu panen atau mengumpul tiba, baru dikejar tak tersisa walau sedikit. Dengan semangatnya saling mencerca dan saling menojolkan diri sebagai bentuk implementasai dari cara kepedulian yang diberikan terhadap mereka yang hidup di sana yakni di Watui. Hal tersebut teruji saat moment politik di ambang mata, ada banyak sekali kertas kerja Tim yang sarat strategi, hanya dengan tujuan bagaimana mengumpulkan banyak. Dengan demikian, keberadaan mereka masyarakat Watui dan lainnya di Jazirah ini, hanya dikunjungi dan diketahui pada saat pasar politik dimulai oleh PARA SAUDAGAR POLITIK.

Harga hak mereka sebagai warga bangsa dibayar seharga hasil kebun dan usaha tani yang hanya terjual semusim 5 tahunan PEMILU. Jika waktunya bursa politik telah selesai, kemana mereka? tak satupun muncul, bahkan yang tampak gemilang hanyalah strategi, bukan program, ibarat kebun yang ditinggal tanpa dirawat.

Watui adalah rumah yang telah membesarkan Kita. Watui adalah istana dari gubuk huni Kita, syair perakit tatkala diayun deras riak Wailau menuju Wai Tala. Watui buah karya leluhur yang harus dijaga sebagai milik pusaka anak cucu. Dengan cita dan cinta dong jujaro mungare zaman, mari berasama wujudkan bumi pusaka nan lestari rumah besar Watui sebagai rumah tempat pupuk rasa kumpul orang sudara.

Tulisan ini adalah torehan kisah dari rekam jejak kehidupan yang sedang berlangsung dalam sebuah kelompok masyarakat bangsa ini, yang sekian puluh tahun dipaksa merayakan hari ulang tahun kemerdekaan bangsanya, tapi atas nasib hidupnya sendiri yang dikisahkan tidak pernah merasakan kemerdekaan itu.

Tulisan ini digubah dalam narasi yang mengkisahkan realita dan fakta kehidupan sekelompok masyarakat di sebuah Kabupaten di provinsi kepulauan seribu (1000) Maluku yang tengah mengecap dasyatnya ketidakadilan zaman ini. Sekaligus menjadi sebuah ungkapan rasa yang dipersembahkan bagi Kaum dan Generasi yang mengalir darah Negeri tercinta Watui. Serta sebuah protes bagi mereka yang terlanjur mengeksploitasi hak kelompok masyarakat di Jazirah ini untuk kepentingan tertentu. Semoga dapat menggugah. (Pdt. David Manuputty, Ketua Majelis Jemaat GPM Watui)